JAKARTA - Penerapan desentralisasi atau otonomi daerah, khususnya dalam peningkatan pelayanan kualitas dasar bidang pendidikan, perlu ditinjau ulang.
Alasannya, hasil evaluasi kualitas pelayanan dasar pendidikan tidak mengalami kemajuan yang signifikan setelah diotonomikan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Khairil Anwar Notodiputro mengungkapkan, Kemdikbud menawarkan tiga pilihan pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Akan tetapi, hal itu masih perlu dibicarakan dan dikaji lebih mendalam.
Tiga pilihan tersebut, pertama, desentralisasi dilakukan tidak seragam. Artinya, hanya diberikan pada daerah-daerah yang tingkat kesiapannya mencukupi.
"Ini opsi yang berkembang dengan stakeholder di beberapa daerah, yakni Surabaya dan Semarang," ungkap Khairil, di Gedung Kemdikbud, baru-baru ini.
Kedua, desentralisasi pendidikan hanya diterapkan sampai provinsi. Ketiga, desentralisasi parsial. "Artinya, dari semua tugas pendidikan, mulai dari menyusun kurikulum, buku, hingga menyiapkan murid dirinci dan dipetakan. Mana yang bisa menjadi kewenangan daerah, provinsi, dan pusat. Jadi, tidak semua urusan didesentralisasi," tuturnya.
Belum Sinkron
Dia menjelaskan, dari penelitian yang dilakukan, masih ditemukan beberapa peraturan belum sinkron antara kebijakan di pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Aturan-aturan tersebut dibuat berbarengan, sehingga terjadi ketidaksinkronan antardaerah dengan pusat.
"Proses ini yang kami kawal. Dari kajian ditemukan beberapa belum sinkron. Tapi, saya belum bisa bahas sekarang," ujarnya.
Anggota komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian mengatakan, saat ini sudah waktunya dilakukan evaluasi, apakah dengan diberlakukan desentralisasi, pelayanan pendidikan di daerah semakin baik atau tidak.
"Sudah waktunya ada review menyeluruh tentang penerapan desentralisasi dan dampaknya pada kualitas pelayanan dasar terutama pendidikan," kata.
Review yang dimaksud Hetifah harus menyangkut kajian kebijakan dan aspek legal desentralisasi. Misalnya, UU 32 Tahun 2004 dan PP yang terkait dengan pembagian kewenangan dan urusan juga harus dievaluasi.
"Masing-masing opsi yg dikemukakan membutuhkan payung hukum yang menunjang, tidak bisa begitu saja menabrak aturan, kecuali aturan tersebut direvisi terlebih dahulu," ungkapnya.
Meski demkian, dia menyadari sentralisasi pendidikan belum dapat dilakukan sepenuhnya, melainkan bertahap. "Desentralisasi parsial di dunia pendidikan, saya kira itu yang paling mungkin," ungkapnya.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Tubagus Dedi Gumelar berpendapat, desentralisasi pendidikan yang dilakukan pemerintah terlalu gegabah. "Sekarang ini desentralisasi, tapi mentalnya masih sentralisasi. Jadi, gegabah memasukan pendidikan ke desentralisasi," katanya.
Alasannya, hasil evaluasi kualitas pelayanan dasar pendidikan tidak mengalami kemajuan yang signifikan setelah diotonomikan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Khairil Anwar Notodiputro mengungkapkan, Kemdikbud menawarkan tiga pilihan pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Akan tetapi, hal itu masih perlu dibicarakan dan dikaji lebih mendalam.
Tiga pilihan tersebut, pertama, desentralisasi dilakukan tidak seragam. Artinya, hanya diberikan pada daerah-daerah yang tingkat kesiapannya mencukupi.
"Ini opsi yang berkembang dengan stakeholder di beberapa daerah, yakni Surabaya dan Semarang," ungkap Khairil, di Gedung Kemdikbud, baru-baru ini.
Kedua, desentralisasi pendidikan hanya diterapkan sampai provinsi. Ketiga, desentralisasi parsial. "Artinya, dari semua tugas pendidikan, mulai dari menyusun kurikulum, buku, hingga menyiapkan murid dirinci dan dipetakan. Mana yang bisa menjadi kewenangan daerah, provinsi, dan pusat. Jadi, tidak semua urusan didesentralisasi," tuturnya.
Belum Sinkron
Dia menjelaskan, dari penelitian yang dilakukan, masih ditemukan beberapa peraturan belum sinkron antara kebijakan di pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Aturan-aturan tersebut dibuat berbarengan, sehingga terjadi ketidaksinkronan antardaerah dengan pusat.
"Proses ini yang kami kawal. Dari kajian ditemukan beberapa belum sinkron. Tapi, saya belum bisa bahas sekarang," ujarnya.
Anggota komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian mengatakan, saat ini sudah waktunya dilakukan evaluasi, apakah dengan diberlakukan desentralisasi, pelayanan pendidikan di daerah semakin baik atau tidak.
"Sudah waktunya ada review menyeluruh tentang penerapan desentralisasi dan dampaknya pada kualitas pelayanan dasar terutama pendidikan," kata.
Review yang dimaksud Hetifah harus menyangkut kajian kebijakan dan aspek legal desentralisasi. Misalnya, UU 32 Tahun 2004 dan PP yang terkait dengan pembagian kewenangan dan urusan juga harus dievaluasi.
"Masing-masing opsi yg dikemukakan membutuhkan payung hukum yang menunjang, tidak bisa begitu saja menabrak aturan, kecuali aturan tersebut direvisi terlebih dahulu," ungkapnya.
Meski demkian, dia menyadari sentralisasi pendidikan belum dapat dilakukan sepenuhnya, melainkan bertahap. "Desentralisasi parsial di dunia pendidikan, saya kira itu yang paling mungkin," ungkapnya.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Tubagus Dedi Gumelar berpendapat, desentralisasi pendidikan yang dilakukan pemerintah terlalu gegabah. "Sekarang ini desentralisasi, tapi mentalnya masih sentralisasi. Jadi, gegabah memasukan pendidikan ke desentralisasi," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar